Agama dan Ideologi Masyarakat Multikultural

patromaks- Sebuah masjid di Afghanistan menjadi sasaran gertakan bom saat gelaran sholat Jumat, 22 April 2022. Beberapa puluh jamaah meninggal dunia. Kejadian biadab itu hanya selang sehari, di mana gertakan bom sama ke arah masjid komunitas Syiah di kota berbeda.

Belasan orang meninggal dunia. Paling akhir, ISIS alias Islamic State of Iraq and Syriamengklaim sebagai artis. awalannya di Pakistan; pada Jumat, 4 Maret 2022, terjadi ledakan bom yang menarget masjid. Beberapa puluh orang meregang nyawa. Kembali ISIS mendaku bertanggung-jawab atas serangan brutal saat jamaah mengadakan sholat Jumat.

Dari 2 peristiwa di dua negara dengan warga mayoritas muslim itu, kita perlu menebalkan pembahasan bila perlakuan terorisme dikerjakan oleh mereka yang membawa jargon “Islamic State/Negara islam”. Barisan ini benar-benar tega ke arah orang yang melakukan beribadah dan notabene tiap muslim (satu agama).

Di sini bisa ditarik simpulan bila diksi “negara Islam” yang mereka tempelkan dalam identitas gerakan dan ideologi-pahamnya, adalah sekadar rahasia yang justru mencemarkan dan merusak nama Islam itu sebagai agama yang dukung tinggi kemanusiaan.

Dengan memelintir tafsiran narasi “negara Islam”, lalu dibuatlah sebuah justifikasi bila yang tidak sepaham dengan kelompoknya, sebagai musuh dan harus dilenyapkan; walaupun saudara seagama-sebangsa sekalipun. Di sini permasalahan mulai ada berkait penggunaan dan pengetahuan atas “negara Islam”.

Yakni, ada kesewenang-wenangan yang menyikat kepada pihak yang tidak sepaham/satu kelompok. Dus, usaha aktualisasi “negara Islam” jadi absurd. Islam dalam praktiknya, dipahami dan dilakukan oleh beberapa mazhab dan firkah.

Dan, masing-masing mazhab tidak bisa mengklaim golongannya paling otoritatif sebagai wakil Islam. Realitas menunjukkan bila beberapa negara mayoritas muslim , memiliki corak pemerintahan yang lain. Diawali dari proses kerajaan sampai republik.

Dan agama Islam digerakkan sebagai tata nilai dan senyawa yang mengilhami atas beragam tipe produk undang-undang pemerintahan-kenegaraan. Di sini terlihat jelas, bila Islam sebetulnya hanya mengadakankan keinginan bagus pembangunan kepemimpinan seperti keadilan, amanah, dan penolakan atas kezaliman.

Dan babakan teknis, sepenuhnya sebagai tempat ijtihadiyyah; yang mempunyai wujud bermacam rupa turuti corak dan habitus masing-masing wilayah. Tapi, tak berarti agama lalu tersingkirkan. Kita bisa baca contoh perundang-undangan di Indonesia.

Domain hajat hidup yang terbelit permasalahan internal umat, sudah terakomodasi dengan beragam produk undang-undang tipe zakat, haji, perkawinan. Menjawab relasi agama dan negara seperti inilah, kiranya bisa dilihat seperti sebuah konsepsi “negara Islam” yang semestinya dan bisa diterima semua barisan.

Tidak ada teks agama yang sarih menjelaskan bentuk negara/pemerintahan, justru bisa disimpulkan sebagai keluasan Islam dalam memayungi atas domain ijtihad masyarakat di beberapa wilayah untuk tetapkan model penyelenggaraan pemerintahan.

Absurditas NII

 

Agama dan Ideologi Masyarakat Multikultural

 

Dalam rangka Indonesia, minimum penggunaan cap “negara Islam” sudah dipasang saat Republik baru seumur jagung. Walaupun sebetulnya semua pihak telah bersepakat konsepsi negara Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi negara, jadi segi dari ejawantah “negara Islam” (baca: negara islami).

Tapi, karena faktor tendensi kuasa dan ego, beberapa barisan kerjakan perlawanan alias perlawanan ke pemerintahan sah. Barisan ini mendompleng cap yang seakan-akan religiususus; walaupun sebetulnya ada berada di belakangnya kuasai kemauan memperoleh kekuasaan besar.

Banyak yang menyangka kemauan atas Negara Islam Indonesia (NII) sudah wasalam semenjak penggeraknya, SM Kartosoewirjo, diganjar hukuman. Tapi, akhir-akhir ini, dikabarkan telah banyak simpatisan aktif NII sampai beberapa ribu orang, menebar di sejumlah daerah.

“Kesuksesan” akseptasi ini tidak lepas dari daya tarik penggunaan embel-embel “negara Islam” sebagai merk yang dilihat paling “jual”. Karena akan bertabrakan dengan realitas yang majemuk, NII sebenarnya tidak mendapat simpati rakyat Indonesia bahkan oleh mayoritas umat Islam.

Tersebab hadirnya mencederai nilai kebersamaan multikultural dan hadirkan kemudaratan berwujud perpecahan anak negeri. Karena itu, sudah jauh-beberapa hari sebelum perancangan Republik ini, beberapa pendiri bangsa mewanti-wanti untuk selalu perjuangkan gagasan negara “islam” dengan huruf “i” kecil.

Negara “islam” dengan huruf “i” kecil, mempunyai makna Islam sebagai nilai dan praktik mulia dalam gagasan lakukan peran negara yang ditempati oleh bermacam jenis suku dan penganut agama. Disini, kita bisa melihat kegemerlapan pemikiran dan langkah beberapa figur Islam seperti KH. Hebat Hasyim, Agus Salim, Soekarno, Moh Hatta yang taruh secara tepat relasi negara dan agama.

Cara-cara kekerasan, gertakan, perlawanan, yang selalu dipakai barisan yang melabelkan si dia dengan “negara Islam”, baik yang telah dilaksanakan NII atau ISIS, justru jadi bukti betul bila gerakan ini lebih sebagai barisan kriminal yang mendompleng istilah-istilah keagamaan dengan skema politik-ekonomi.

Sekaligus menunjukkan gagal pahami dan salah paham pada pemahaman dan implementasi “negara Islam” itu. Walaupun sebetulnya sebenarnya, yang penting terus diperjuangkan adalah usaha bernegara-berbangsa dengan islami alias laku masyarakat yang selalu menyunggi tinggi keadaban publik.

Bernegara Buya Syafii

Dalam buku Beberapa titik Range di Perjalananku (2009), Buya Syafii Maarif pernah mencita-citakan bentuk negara Islam di Indonesia. Hingga kemudian saat berguru ke figure besar dunia, Fazlur Rahman, selekasnya menginsyafi kemauan itu. Buya Syafii lalu tentukan jalan inklusif dan progresif.

Bersama Gus Dur, kedua nya melihat tidak perlu untuk memformalkan agama dalam formasi baku pemerintahan (hukum negara). Islam sebagai agama, diidealkannya sebagai spirit dan gagasan kehidupan umat dan masyarakat. Pemformalan agama jadi hukum negara dikuatirkan mendiskrimanasikan penganut agama lain.

Dalam kata lain, sekiranya agama digerakkan sebagai tata nilai dan senyawa yang mengilhami atas beragam tipe produk undang-undang pemerintahan-kenegaraan. Agama mengadakankan keinginan bagus pembangunan karakter pemerintahan seperti keadilan, amanah, dan penolakan atas kezaliman.