Daging Sapi Mahal, Kembalilah ke Tempe

patromaks – terancam alami minus protein di tengah kenaikan harga daging sapi yang makin mahal. Penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak sapi, kerbau, domba, dan kambing yang kembali menebar di sejumlah daerah menjadi pemicunya.

Walaupun tidak menebar ke manusia karena faktor reseptor pada hewan dan manusia lainnya dan daging ternak yang terkena PMK masih aman dikonsumsi, kualitas daging sudah turun dan memberi rasa khawatir ke konsumen. Jika wabah itu tidak sesegera diatasi, kematian ternak dan pengurangan kualitas daging tentu merugikan secara ekonomi. Indonesia sebagai negara yang konsumsi daging sapi sekitar 706.388 ton pada 2021, tapi hanya mampu hasilkan daging sekitar 436.704 ton. Permintaannya tumbuh sekitar 6,4% /tahun, sementara kemampuan produksi hanya tumbuh 1,3% /tahun. Pintu impor dibuka untuk tutupi kekurangannya. Kondisi ini yang menjadikan negeri ini pasar daging yang memikat buat beberapa negara produsen daging sapi dunia. Bagaimana pemerintah tangani minus protein warga di tengah menebarnya PMK? Adakah komoditas pangan lain kandungan proteinnya sama dengan daging sapi?

Kemampuan lokal

Sebetulnya tidak ada argument tekan untuk mengimpor daging sapi untuk tutupi minus sumber protein. Kepentingan protein warga Indonesia dapat dipenuhi dari banyak kemampuan lokal yang murah dan baik, seperti telur dan daging ayam, ikan laut dan air tawar. Protein nabati tidak kalah banyak. Kacang kedelai yang dibikin jadi tempe jadi sumber protein yang baik dan sudah digunakan masyarakat secara turun-turun temurun. Tempe, makanan asli Indonesia dicintai bukan hanya karena cita-rasanya, tapi karena telah jadi konsumsi nasional dan kepentingan konsumsi tiap hari masyarakat Indonesia. Tempe tidak cuma dikonsumsi warga yang tidak mampu, tetapi juga orang yang mampu secara ekonomi untuk menambah selera makan. Setiap harinya warga yang tidak terlepas dari tempe menjadikan Indonesia sebagai negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Diprediksikan rata-rata tingkat konsumsi tempe di Indonesia mendekati 8 kg per kapita /tahun. Tingginya tingkat konsumsi tempe ini–jika bandingkan dengan tingkat konsumsi daging sapi yang hanya 2,2 kg per kapita /tahun–karena masyarakat sudah lama mengenal tempe. Bahkan, produk fermentasi kedelai ini sudah dikenal sejak beratus-ratus tahun tempo hari. Dalam ketentuan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta, tempe jadi lauk pilihan khusus. Produk tempe sudah dicatat dalam manuskrip serat Centini bab 3 dan bab 12 di zaman ke-16. Perhatian yang makin besar pada tempe dimulai sejak zaman wargaan Jepang di Indonesia. Tapi, menu tempe belum ditemukan dalam dapur Melayu, Minang, Aceh, Batak, Bugis, atau Manado.

Daging Sapi Mahal, Kembalilah ke Tempe

Bahkan, dalam catatan sejarahwan Onghokham (2000), beberapa tawanan perang yang diberi makan tempe terlepas dari disentri dan busung lapar. Menurutnya, nilai nutrisi tempe dan harga yang paling bisa dicapai, menyelamatkan masyarakat miskin dari kondisi kurang gizi. Selain bergizi tinggi, reaksi fermentasi kedelai jadi tempe akan menukar aroma langu kedelai jadi aroma keunikan tempe. Saat fresh, baru selesai reaksi fermentasi, tempe mempunyai aroma lembut seperti jamur yang dari aroma miselium kapang berpadu dengan aroma keunikan dari asam amino bebas dan asam lemak. Tapi, jika reaksi fermentasi jalan makin lama kembali, aroma yang lembut berpindah jadi tajam karena pelepasan senyawa amonia. Cita-rasa dan nilai gizi dari produk ‘raja biji-bijian’ ini, yang semakin bertambah melalui fermentasi, menjadikan tempe makanan super tidak tergantikan. Atas dasar itu masyarakat memberi support untuk merekomendasikan tempe ‘produk pangan asli Nusantara’ jadi warisan budaya tidak benda UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) dari Indonesia. Dukungan itu tidak lepas dari beberapa literatur kisah dan budaya tempe Nusantara. Salah satunya menulis bila hidangan brambang jae santen tempe (makanan yang dibikin dari tempe, bawang merah, jahe dan santan) dan asem sambel lethokan (makanan yang dibikin bermaterial dasar tempe dengan fermentasi tingkat lanjut) sudah tersaji dalam menu beberapa pangeran di Jawa. Sebagai warisan budaya, tempe yang disebutkan pemasok gizi bangsa harus dijamin terdapatnya bahan bakunya secara terus-terusan. Walaupun Presiden Soekarno pernah mengatakan Indonesia jangan jadi bangsa tempe, yang artinya lemah, kurang kuat, dan tidak berkualitas, hal itu disebut untuk beri motivasi bangsa Indonesia agar tidak diinjak-injak bangsa lain. Karenanya, pemilihan 6 Juni sebagai hari tempe sedunia tidak lepas dari ketokohan Presiden Soekarno yang terlahir di tanggal itu. Beritanya Presiden pertama RI itu menyukai makanan bikinan tempe. Gorengan tempe tidak pernah absen pada menu istana.

Makanan fungsional

Saat ini makin dianggap tempe ialah makanan yang paling baik. Ia memiliki zat gizi dan nongizi yang paling berkompetisi dengan makanan seperti dari Jepang yang berbahan baku kedelai. Barisan makanan khusus seperti ini dikenal sebagai makanan fungsional atau pangan nutrasetikal. Masyarakat di negeri Sakura itu menjelaskan sebagai foods for specific health uses (FOSHU). Bahkan, makanan fermentatif berbahan baku kedelai rebus ini sudah lama memperoleh perhatian dari peneliti asing khususnya beberapa negara maju dari Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Mereka mengatakan tempe sebagai makanan masa depan (food of tomorrow) karena tidak cuma mempunyai kandungan protein yang tinggi, tetapi juga jadi sumber anti-oksidan andal untuk menyepak radikal bebas pemicu kanker dan jantung koroner. Makanan asli Nusantara yang penuh manfaat untuk kesehatan ini harus jadi tuan di negeri sendiri dengan bahan baku kedelai lokal. Keunggulan gizinya untuk sumber pangan fungsional, seharusnya memosisikan tempe jadi sumber devisa negara. Krisis kedelai yang acap berkali-kali harus dijauhi dengan tepat. Pemerintah supaya lebih serius gunakan berbagai komoditas lokal untuk sumber bahan baku industri pangan. Pengalaman krisis moneter 1997 dan krisis kedelai 2013, 2021, dan 2022 patut menjadi pelajaran berharga. Saat krisis moneter banyak artis ekonomi melirik sektor teknoagroindustri pangan sebagai pangkalan kenaikan usaha. Industri berbasiskankan pertanian ini ibarat bintang saat itu karena menggunakan bahan baku lokal, dan produk hilirnya mampu menyogok devisa karena di-export.