Keputusan Bebas atau Terlepas dari Tuntutan Bisa Disodorkan Kasasi: Satu Pertimbangan Menyimpang

patromaks – PRAKTIK hukum di mana tersangka sudah dibebaskan berdasar keputusan pengadilan tetap beskal penuntut bisa ajukan banding cuman terjadi di Indonesia.

berdasar dua ketetapan dalam KUHAP sudah dipertegas seperti berikut: Pasal 67 kuhap Tersangka atau penuntut umum memiliki hak untuk meminta banding pada keputusan pengadilan tingkat pertama terkecuali pada keputusan bebas, terlepas dari semua gugatan hukum yang tersangkut permasalahan kurang persisnya implementasi hukum dan keputusan pengadilan pada acara cepat.

Dalam ketetapan Pasal 244 KUHAP, dipertegas hal sama seperti berikut: Ada keputusan kasus pidana yang diberi di tingkat paling akhir oleh pengadilan lain selainnya dibanding Mahkamah Agung, tersangka atau penuntut umum bisa ajukan keinginan pengecekan kasasi ke Mahkamah Agung, terkecuali pada keputusan bebas.

Atas dasar dua ketetapan KUHAP itu terang dan riil disebut jika, keputusan bebas dan terlepas dari gugatan hukum tidak bisa dilaksanakan usaha hukum apa saja. Ini bisa dimengerti karena pertama, penggantian dari HIR (Hukum Acara Pidana Belanda) ke KUHAP mempunyai tujuan tempatkan seorang terdakwa/tersangka sebagai manusia subyek hukum, bukan sebagai object hukum hingga terang KUHAP menggambarkan pelindungan hak asasi terdakwa/tersangka.

Tetapi selanjutnya dalam praktek hukum saat berfungsinya KUHAP tahun 1981, yakni di tahun 1983, Menteri Kehakiman memutuskan Surat Keputusan nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 Mengenai Tambahan Dasar Penerapan KUHAP (TPP KUHAP) yang buka sela hukum untuk menyelimpang dari 2 ketetapan KUHAP tertera di atas yakni sebagaiaman hal disampaikan seperti berikut: Pada keputusan bebas tidak bisa disuruhkan banding; tapi berdasar kondisi dan situasi, untuk hukum kebenaran dan keadilan, pada keputusan bebas bisa disuruhkan kasasi.

SK Menteri Kehakiman sebagai tambahan berfungsinya KUHAP itu sebagai awalnya penyelewengan pada tujuan dan maksud penggantian HIR (hukum acara pidana Belanda) ke KUHAP-hukum acara pidana nasional (Indonesia) dengan UU Nomor delapan tahun 1981.

Penyelewengan hukum itu yang disebut cermin dari pertimbangan yang menyimpang karena pertama, dia tidak mengaku dan menghargakan harkat dan martabat manusia (tersangka) yang sudah dianggap secara universal dalam International Convenan on Economic, Social and Political Rights yang sudah diratifikasi dengan UU Nomor 12 tahun 2015, dan ke-2 karena dampak kolonialisme terhitung dalam sektor hukum yang belum pupus periode pemerintah Suharto yang populer otoritarian.

Sumber pertimbangan menyimpang hukum yang ke-2 ialah doktrin hukum yang mengatakan jika, frasa bebas dalam ketetapan Pasal 244 KUHAP harus didefinisikan sebagai bebas tidak murni bukan bebas -sebenarnya bebas yang wajar disebutkan keputusan pengadilan dilepaskan dari semua tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging).

Pemahaman dilepaskan dari gugatan hukum diartikan jika, tindakan tersangka bisa dibuktikan namun karena argumen pembenar dan argumen pemaaf, karena itu ada masih tetap bisa dituntut Kembali lewat usaha hukum kasasi. Doktrin hukum itu dalam praktek hukum umum terjadi hingga untuk tersangka yang mendapat keputusan dilepaskan dari tuntutan; belum juga bebas-sebebasnya hingga tidak ada kejelasan hukum.

Keputusan Bebas atau Terlepas dari Tuntutan Bisa Disodorkan Kasasi: Satu Pertimbangan Menyimpang

 

Keputusan Bebas atau Terlepas dari Tuntutan Bisa Disodorkan Kasasi: Satu Pertimbangan Menyimpang

 

Permasalahan akhirnya proses peradilan yang terjadi seperti dirinci di atas sebagai satu kemustahilan yang menyebabkan kekesalan seorang tersangka berkaitan dan sudah meruak kebahagiaan tersangka dan keluarganya. Ialah satu kemustahlian sebagai akibatnya karena doktrin hukum kolonila itu karena perjuangan seorang tersangka untuk mendapat keadilan sudah ditempuh lewat proses panjang semenjak diputuskan sebagai terdakwa menunggu s/d lebih kurang 400 hari untuk mendapat keputusan yang adil dan arif.

Di lain sisi beskal/penuntut umum sudah diberi peluang semenjak kasus diteruskan dari P16 s/d P21 untuk mendapat bukti yang cukup jika bukti dipastikan komplet dan siap dilimpahkan ke sidang pengadilan. Beskal/penuntut sudah diberi peluang untuk menunjukkan sepanjang sidang pengadilan dan memberikan keyakinan majelis hakim jika tersangka sudah bisa dibuktikan bersalah praktek hukum itu seterusnya sudah diperkokoh oleh yurisprudensi MA yang sudah jatuhkan keputusan pengadilan dan dipastikan tersangka bisa dibuktikan bersalah dalam kasus pengajuan kasasi atas keputusan bebas.

Mahkamah Konstitusi RI, dalam keputusan nomor; 114/PUU-X/2012 Tanggal 26 Maret tahun 2013 berkaitan permintaan tes materi atas ketetapan Pasal 244 KUHAP sudah mengatakan, jika frasa, “terkecuali pada keputusan bebas” dalam Pasal 244 UU Nomor delapan tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TLN 3209) berlawanan dengan berlawanan denagan Undang-Undang Dasar negara RI tahun 1945.

dan mengatakan frasa, terkecuali pada keputusan bebas dalam Pasal 244 UU Nomor delapan tahun 1981 tidak memiliki kemampuan hukum mengikat.” Kondisi hukum sebagai mana sudah dirinci di atas menggambarkan terjadi perselisihan di antara kebutuhan hukum kejaksaan atas nama negara dan kebutuhan hukum atas nama masyarakat negaranya.

Disambungkan dengan Konstitusi UUD45 karena itu praktek hukum pengajuan kasasi atas keputusan bebas berlawanan dengan ketetapan Pasal 28 D ayat (1) UUD45; jika tiap orang memiliki hak atas pernyataan, agunan,dan kejelasan hukum yang adil dan tindakan yang serupa dari muka hukum; dan Pasal 28 G ayat (1) UUD45, jika tiap orang memiliki hak atas pelindung diri individu, keluarga, kehormatan, martabat,dan harta benda yang di bawah kekuasaannya dan memiliki hak atas perasaan aman dan pelindungan dari teror ketakutan untuk melakukan perbuatan atau mungkin tidak melakukan perbuatan suatu hal yang disebut hak asasi.

Pernyataan atas doktrin hukum jika keputusan bebas dan terlepas dari semua tuntutan yang bisa dikasasi dalam praktek sama juga maknanya dengan lenyapnya hak masyarakat terhitung tersangka untuk mendapat agunan dan pelindungan hak asasi dalam status tersangka yang memvisualisasikan jika usaha hukum dalam KUHAP bukan jalan keluar dari permasalahan untuk seorang dalam status tersangka tetapi malah sebagai permasalahan baru dan sebagai permasalahan yang tidak ada usai (unending problems).

Doktrin hukum yang benarkan kebebasan tersangka bisa terbatasi oleh pengajuan kasasi oleh penuntut umum menggambarkan jika negara sudah perpanjang kesengsaraan seorang tersangka karena pemisahan-pembatasan atas hak tersangka untuk mendapat kebebasanya yang malah didapat dan datang dari keputusan Instansi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari dampak kekuasan mana saja.

Permasalahan hukum yang serius dari praktek hukum itu sebagai tindakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan masyarakat negara terhitung dalam status tersangka alias kezaliman dalam penegakan hukum. Arah politik hukum pidana era 21 seharusnya ikuti standard internasional yang dianggap universal oleh warga internasional yang bermoral.