Keterkaitan Korporasi dalam Tindak Pidana

patromaks – Keterkaitan korporasi pada suatu tindak pidana terhitung tindak pidana korupsi sudah menyebar dalam masyarakat semenjak kasus Kontribusi Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pokoknya jika korporasi sudah dinormakan sebagai subyek hukum pidana yang bisa dijatuhi hukuman.

Kehadiran korporasi sebagai subyek hukum dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), UU Narkotika, dan UU Terorisme diperkokoh dengan pernyataan Mahkamah Agung RI dalam Ketentuan MA Nomor 13 Tahun 2016 Tata Langkah Pengecekan Korporasi yang turut serta tindak pidana.

Sekalinya Kitab UU Hukum Pidana (etika material) tidak mengaku secara eksklusif jika korporasi sebagai subyek hukum, namun dalam etika hukum pidana khusus sudah dianggap sebagai subyek hukum seperti pada.

Pengukuhan korporasi sebagai subyek hukum pidana sebagai buah simalakama karena pengukuhan itu bawa resiko positif dan negatif. Positifnya ialah ungkap habis keterkaitan korporasi sebagai subyek yang diperhitungkan sudah memuat hasil kejahatan, jadi fasilitas atau alat untuk lakukan kejahatan dan jadi sponsor untuk lakukan kejahatan.

Ke-3 fasilitas itu dalam praktek terjadi dan dilaksanakan korporasi sekalinya hukuman yang bisa dijatuhkan ialah pidana denda atau penyitaan asset korporasi bila tidak memenuhi, asset pengurusnya dan pemegang sahamnya (PTbk).

Ketentuan perundang-undangan yang dihandalkan untuk menangkap korporasi dan hasil kejahatan ialah UU Nomor 8 Tahun 2010 karena dalam UU itu ada ketetapan yang melegalkan pembuktian kebalik yakni yang perlu menunjukkan jika asset atau harta kekayaan yang diambil alih ialah bukan punya aktor kejahatan asal (predicate crimes).

Segi positifnya ialah, di zaman globalisasi yang diidentikkan oleh pengokohan pembangunan ekonomi nasional, korporasi dianggap sebagai co-partner pemerintahan yang vital. Jatuh bangun dan jatuhnya korporasi yang khusus mengurus sektor aktivitas vital seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan perkebunan, ialah tidak berhasil dan berhasilnya pemerintahan mengurus beberapa kegiatan dalam sektor itu.

Dibutuhkan peraturan pemeritah terhitung aparat penegak hukum sepanjang terjadi kejadian yang terkait dengan peraturan pemeritah dalam sektor aktivitas itu. Yang diartikan dengan peraturan berkaitan pengendalian itu diantaranya, stabilitas pegelolaan sektor aktivitas vital baik pada ide, arah dan visi, atau dalam pemantauan atas penerapan pengendaliannya hingga pemantauan yang ketat bisa menahan terjadinya kemungkinan pelanggaran hukum.

Di lain sisi aparat hukum harus pahami politik hukum pemerintahan atas sektor-sektor vital itu terhitung turut menemani beberapa proyek vital dalam sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan.

Taktik penangkalan dalam masalah ini paling utama dari taktik represif yang kerap berbuntut kontraproduktif sekalinya memunculkan dampak kapok tetapi kurang berarti untuk kebutuhan pembangunan ekonomi nasional.

Antara dua taktik, protektif dan represif itu, ada pilihan taktik lain, yakni taktik represif tanpa penuntutan pidana dengan persyaratan tertentu atau taktik preventive detention dengan agunan. Ke-2 taktik itu mempunyai tujuan untuk menegakkan konsep Business judgment rule (BJR) yakni penegakan norma aktor usaha dalam menjalankan bisnis yang disebut pendekatan primum remedium dan ancaman pidana yang disebut pendekatan ultimum remedium.

Dua pendekatan itu diberikan ke aktor usaha, pendekatan yang mana terbaik untuk dianya dan perusahaannya dan pejabat hukum, Beskal Agung yang putuskan akhirnya taktik represif yang digerakkanya.

Keterkaitan Korporasi dalam Tindak Pidana

 

Keterkaitan Korporasi dalam Tindak Pidana

 

Taktik preventive detention dikerjakan pada korporasi yang diperhitungkan kuat sudah lakukan tindak pidana atau sudah didapat bukti permulaan cukup hingga dampak kapok sudah dirasa semenjak pada proses penyelidikan baik karena kebatasan bergerak karena UU untuk pengurusnya atau karena sangat jarang hukum penyitaan asset korporasinya.

Taktik yang disampaikan di atas sebagai alternative jalan keluar yang dipandang terbaik sekarang ini khusus yang terjadi di AS,Inggris, dan Prancis dan beberapa negara anggota Uni Eropa, seperti Belanda, dikenali Deferred Prosecution Agreement/DPA atau Non Prosecution Agreement/NPA; di mana tersangka harus bayar denda sebagai penalti dan tak lagi lakukan pelanggaran hukum dan korporasi di bawah supervisi dan audit yang ditetapkan oleh Kejaksaan.

Tiga persyaratan di mana taktik represif tak lagi dipandang sebagai ultimum namun kebalikannya, primum remedium bila a) rugi tidak bisa dipulihkan, tersangka recidivist, dan korban besar sekali (De Blunt); terhitung trek record korporasi dan pengurusnya secara individu.

Peralihan taktik yang berkaitan ialah seperti sudah disampaikan yang berintikan, taktik protektif detention, taktik represif-rehabilitatif, dan dan taktik restorative. Untuk memperkuat efektifitas dan efektivitas kerja penegakan hukum versus penyempurnaan itu, pemerintahan harus membuat mekanisme digitalisasi penegakan hukum khususnya kejahatan dalam sektor keuangan dan perbankan semenjak penyidikan, penyelidikan dan penuntutan hingga kecepatan digitalisasi proses pengecekan tindak pidana bisa melampui dari kecepatan digitalisasi proses kejahatan.

Dari sisi program digitalisasi mekanisme peradilan pidana dibutuhkan mekanisme perampasan asset hasil kejahatan dengan mengoptimalkan performa Pusat Laporan dan Analitis Transaksi bisnis Keuangan (PPATK) untuk mencari sangkaan terjadi proses peletakan (placement), lapisanan (layering), dan integratif (integratif) harta kekayaan hasil kejahatan masuk dan ditaruh dalam mekanisme keuangan-perbankan di Indonesia.

Bahkan juga sangkaan atau panduan kehadiran hasil kejahatan berdasar Laporan Harta Kekayaan Pelaksana Negara (LHKPN) bisa dipandang bukti permulaan yang cukup jika seorang pelaksana negara mempunyai harta kekayaan yang melewati harta kekayaan yang didapat hasil dari kerjanya dan tidak bisa menunjukkan jika kelebihan harta kekayaannya dari pencapaian yang legal.

Pasangan UU Tipikor dan UU pidana khusus lain dengan UU TPPU sebagai dwi-tunggal yang handal untuk ungkap habis kasus megakorupsi dan tindak pidana khusus lain. Keadaan dan bukti yang ditemui pemeritah sekarang ini ialah peningkatan berarti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme yang diperburuk oleh tindak pidana pencucian uang. Dalam hubungan ini dibutuhkan index tindak pidana yang jadi patokan perubahan tindak pidana/kejahatan di Indonesia.

Telah waktunya kita bisa membuat patokan sendiri yang ditangani oleh Instansi Penegak Hukum dan beberapa pakar Indonesia hingga patokan yang dibuat betul-betul memvisualisasikan kondisi riil dan sebenarnya sesuai keadaan politik, hukum, sosial dan ekonomi Indonesia.

Sebagai kebanggaan tertentu bila Pemerintahan Indonesia mempunyai patokan diartikan dibanding selalu gantungkan pada patokan yang dibikin faksi asing atau organisasi asing seperti IPK yang tiap tahun tempatkan Indonesia pada status tidak diunggulkan dibanding dengan negara lain dalam pembasmian korupsi.

Realita yang tidak dipungkuri ialah jika IPK Indonesia tiap tahun nyaris 10 (sepuluh) tahun lebih tidak memvisualisasikan peningkatan positif, dan usaha pembasmian korupsi yang sudah “mempertaruhkan” dengan memenjarakan aktor ke LP Sukamiskin sudah berlipat-lipat bahkan pada kedudukan menteri yang tidak sempat terjadi di negara anggota ASEAN sekalinya, tidak mengganti IPK Indonesia. Bahkan juga sistem IPK mode Transparan Internasional sudah kerap ditanyakan beberapa pakar hukum di negeri ini tetapi tidak ada jawaban TI/TII yang terang tentang itu.