Rekanan Kuasa dan Kekerasan Seksual di Pesantren

patromaks  Timbulnya kasus penghinaan seksual di beberapa pesantren memperlihatkan peristiwa gunung es. Kasus MSAT bukti bagaimana rekanan kuasa, baik dari status pesantren sebagai salah satunya kutub kekuasaan keagamaan dalam masyarakat.

Timbulnya kasus penghinaan seksual di beberapa pesantren memperlihatkan peristiwa gunung es. Kasus MSAT bukti bagaimana rekanan kuasa, baik dari status pesantren sebagai salah satunya kutub kekuasaan keagamaan dalam masyarakat. breaking newsupaya penangkapan Moch Subchi Azal Tzani (MSAT), anak pimpinan Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang. Cerita penangkapannya seperti dramathriller. Sesudah seringkali tidak berhasil, aktor tindakan pencabulan yang menjadi terdakwa semenjak 2019 itu bisa diamankan team Polda Jawa Timur mendekati larut malam.

Rekanan kuasa sebagai keadaan di mana salah satunya faksi mempunyai atribusi dan power yang semakin tinggi dibanding yang lain, dan memakai hal itu untuk kuasai pribadi atau barisan yang dipandang kurang kuat. Kekerasan seksual yang muncul karena ada penyimpangan rekanan kuasa atau power abuse umumnya terjadi bila aktor mempunyai status hirarkis yang semakin tinggi dibandingkan korbannya. Misalkan saja: pendidik pada anak didiknya, atasan pada tempat kerja pada pegawai, figur warga pada warga biasa, orang-tua pada anaknya, dan lain-lain.

Sama seperti yang kita ketahui pada kasus kekerasan seksual yang penting dengan adanya banyak kasus kekerasan seksual di beberapa wilayah sekarang ini salah satunya, kasus NRW salah satunya mahasiswa di Jawa Timur, korban kekerasan seksual yang sudah dilakukan oleh kekasihnya yang disebut anggota kepolisian. Selanjutnya kekerasan dan sistematis yang dirasakan oleh mahasiswa Kampus Riau, dan kekerasan seksual di suatu pesantren di Bandung Jawa Barat jadi bukti jeleknya agunan perasaan aman sebagai hak dasar masyarakat negara.

Peristiwa gunung es kasus kekerasan seksual tidak lepas berkaitan di dunia Lembaga Pengajaran yakni berdasar catatan HopeHelps, sejauh Januari – Oktober 20221 ada 40 laporan kekerasan seksual yang mengikutsertakan civitas akademisa, baik sebagai aktor atau korban. Sebuah survey yang sudah dilakukan oleh Lintasi Feminis Jakarta di tahun 2020 mengatakan jika 13% dari korban kekerasan seksual berbasiskan gender yang melapor (survey itu dilaksanakan dalam kerangka wabah covid-19).

Rekanan Kuasa dalam Tindak Kekerasan Seksual

Rekanan Kuasa dalam Tindak Kekerasan Seksual

Keadaan ini dikuasai oleh belum ada ketentuan yang berspektif korban, mengakibatkan beberapa korban yang malas melapor dan cari bantuan dengan beragam argumen misalnya : tidak yakin jika kasus akan dilakukan tindakan, berasa tidak dipercayai saat membuat laporan, berasa dituding, dan stigma yang hendak ada bila dikisahkan kembali peristiwa yang dirasakan. Dan tidak lepas juga beberapa korban kekerasan seksual tidak melapor karena apa? Yang pertama karena takut, malu dan cemas akan memperoleh stigma dari oranglain, terlebih bila kasus ini akan diolah secara hukum. Lantas kekuatiran jika kasus ini tidak diolah selanjutnya karena tidak ada payung hukum yang detil memihak pada korban.

Selanjutnya argumen lain masih tetap ada penyidik yang mempunyai penglihatan bias saat mengolah kasus semacam ini, hingga proses laporan yang membuat korban alami retraumatisasi. Dan memperoleh saksi yang menjadi satu diantara syarat saat ingin diolah secara hukum dalam kasus kekerasan seksual. Dan yang paling akhir aktor manfaatkan kekuasaannya untuk melobby faksi yang bisa memengaruhi laporan korban tidak diterima, dan kekuatiran aktor memberikan laporan balik korban. Kekerasan seksual dengan rekanan kuasa, selainnya tempatkan koban sebagai faksi yang tidak memiliki daya, umumnya dibarengi dengan teror : mendapatkan niai study yang jelek, dihentikan dari tugas, memberikan ancaman keluarga korban akan dicelakai, sampai teror pembunuhan pada korban . Maka, korban tidak menantang dan aktor dapat lakukan berulang-ulang tidak berarti korban menyenanginya, tetapi karena beberapa faktor di atas.

Ini menajdi konsentrasi kita bersama untuk memutuskan rantai predator seksual baik dirasakan di perguruan tinggi atau di ruangan khalayak. Apa lagi ingat 10 Desember ini sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia, tapi sayang pelindungan pada HAM di Indonesia belum dilaksanakan secara baik, terhitung hak atas perasaan aman untuk barisan rawan. Ini ditunjukkan dengan adanya banyak kasus keekerasan berbasiskan gender yang menerpa wanita dan barisan rawan ainnya beberapa saat bekangan.

Ditambah Permendikbud 30 Tahun 2021 yang ditetapkan dan ruang cakupnya lebih kecil ditingkatan perguruan tinggi atau universitas sebagai ruangan aman untuk barisan rawan (wanita), kami menunggu RUU TPKS sebagai payung hukum kasus kekerasaan yang hendak melingkupi salah satunya : Menahan semua wujud tindak pidana seksual, Tangani, membuat perlindungan dan mengembalikan korban, Menangani aktor, Merealisasikan lingkungannya yang aman untuk semua ihak. Karena itu silahkan bersama kita menghargai, memberikan dukungan RUU TPKS dan Permendikbud 30 Tahun 2021, dan menggerakkan implikasi ketentuan ini sebagus-baiknya untuk membuat banyak ruangan aman di indonesia.