Sensititivitas Vs Literatur Beragama

patromaks – Sebuah kejadian jadi trending dari acara demontrasi mahasiswa se-Indonesia di Jakarta tempo hari.

Pukulan atau kekerasan terjadi ke seorang aktifis sosial media, Ade Armando, yang didului dengan bercekcok mulut dengan beberapa faksi, terhitung dengan mak mak yang datang. Saya menggunakan kata “salah satunya” karena kejadian yang ‘terkecam’ ini seringkali kita tonton.

Seringkali demo ada saja yang menjadi korban, bahkan juga nyawa juga lenyap demikian murah dan gampang. Namun kali dibikin berlainan. Beberapa berita media, terhitung media mainstream terlihat tidak begitu perduli dengan ‘substansi’ tuntutan mahasiswa.

Nyaris semua ke arah ke kekerasan yang menerpa Ade Armando. Saya selanjutnya jadi bingung, bahkan juga ketidaktahuan. Sejauh ini saat terjadi kekerasan, baik ke rakyat biasa, mahasiswa, bahkan juga ke polisi tersebut, rasanya biasa saja.

Satu kali lagi saya tekankan bila saya melawan kekerasan apa saja. Siapa saja dan apa saja yang sudah dilakukan oleh seorang, terhitung Ade Armando, semestinya ditanggapi lewat saluran hukum dan ketentuan atau norma adab yang ada. Dalam sebuah aturan warga yang mempunyai pemerintah syah, masyarakat tidak dibolehkan main hakim sendiri.

Dan karena itu saya mengatakan supaya aktor atau ‘otak aktor’ harus selekasnya diamankan untuk mempertanggung jawabkan tindakannya. Tetapi di saat yang serupa saya peringatkan sebaiknya tiap kejadian jadikan kita sanggup lakukan mawas diri dan perenungan. Ketika itu semestinya kita dapat mendapati jika pada semesta alam ini ada hukum ‘sebab akibat’. Ada reaksi karena disebabkan karena tindakan yang menyusul.

Sensititivitas vs Literatur Beragama

Sensititivitas Versus Literatur Beragama

Bila kita ikuti sepak-terjang Ade Armando dalam tahun-tahun ini tentunya banyak yang terhentak sensitifitasnya. Dari penilaian yang terang melawan “beberapa dasar kepercayaan dan praktek agama” sampai ke kalimat merendahkan dan mengejek penganut agama tertentu. Serta lebih mengejutkan kembali agama itu ialah agama yang dianggap sebagai agamanya sendiri.

Dari Syariah itu tidak ada, saya Muslim tetapi tidak yakin Syariah, azan itu panggilan biasa, Al-Quran itu dapat dibaca dengan Minang, Sunda, Jawa, dan lain. Dari sholat 5 waktu tidak diperintah dalam Al-Quran, sampai saran menghapuskan haji dan umrah hanya karena memiskinkan umat.

Bahkan juga dengan kasar mendakwa orang Islam dungu karena banyak memikirkan selangkangan. Semuanya dan banyak lainnya jadi sisi dari “insensitifitas” Ade Armando dalam sampaikan penilaian-opini yang dianggap sebagai penilaian keagamaan. Sebetulnya bukan saja tidak peka ke agama dan umat ini.

Tetapi sekalian memvisualisasikan “illiterasi” (kejahilan/ketidaktahuan) Ade Armando dalam pahami agama. Sekalian kejahilan dan ketidaktahuannya dalam mengomunikasikan beberapa ide nyelenah binti salah jalan dan menyimpang itu.

Walau sebenarnya ditenggarai sebagai pakar komunikasi. Hal yang ingin saya tegaskan ini kali ialah mengingati keutamaan seluruh pihak untuk menumbuh suburkan dua hal. Pertama, urgensi tumbuhkan religiusous sensitivity.

Yakni membuat rasa peka dan kepedulian rasa (sense) pada agama dan rasa beragama seseorang. Ke-2 , lebih dari sekedar peka, seorang yang berpikiran itu akan usaha membuat religiusous literacy (literatur beragama).

Yakni usaha pahami agama dan rasa beragama seseorang. Dengan bahasa Al-Qur’an berikut yang disebutkan dengan “lita’arafu” atau mengenali dan pahami (Surah 49:13). Poin utama yang lain yang diingatkan oleh kejadian seperti ini ialah urgensi penegakan hukum secara serius dan rata.

Bila sejauh ini Ade Armando dengan terus-terang lakukan penghinaan ke agama dan penganut agama mengapa masih berkeliaran bahkan juga akui diproteksi? Itu yang saya tujuan dalam sebutkan pengakuan belakangan ini, jika saat sense of justice lenyap tentunya akan memunculkan kegelisahan khalayak. Pada akhirannya apa yang menerpa Ade Armando memperlihatkan jika kita tidak selamanya hidup dalam jagat maya.

Ada periodenya bisa menjadi dunia riil. Dunia riil itu yang dirasa oleh Ade Armando sesudah demikian lama terlena oleh dekapan dunia mayanya. Tetapi ingat, sesudah dunia riil sekarang ini bakal ada dunia riil yang jelas kembali. Dunia di mana segala hal akan datang kembali dan dipertanggung tawabkan.