Waspada Peraturan JKN KRIS

patromaks – Kementerian Kesehatan dan Dewan Agunan Sosial Nasional (DJSN) terlihat ngotot ingin berlakukan peraturan KRIS (Kelas Rawat Inap Standard) untuk program Agunan Kesehatan Nasional (JKN) atau disebutkan JKN non kelas. Selain argumen amanat dari UU No 40 Tahun 2004 mengenai Mekanisme Agunan Sosial Nasional (SJSN); secara sosiologis JKN KRIS dipandang seperti peraturan yang membumi, bahkan juga egaliter.

Karena servis rawat inap di rumah sakit (RS), secara bersejarah kultural sebagai peninggalan penjajahan. Ada seperti “kastanisasi” yaitu kelas satu untuk masyarakat kulit putih, kelas dua untuk kulit warna, dan kelas tiga untukinlander, pribumi. Tetapi, di lain sisi, usaha merealisasikan peraturan JKN KRIS malah dapat melahirkan ketidakadilan baru, baik dari segi ekonomi dan atau sosial. Dari faktor normatif juga pengertian JKN KRIS masih terbuka ruangan untuk dipermasalahkan. Berikut beberapa catatan krisis berkaitan wawasan peraturan JKN KRIS, yang diterapkan di awal Juli 2022 ini. Pertama, sebenarnya dalam ranah terminologi, belumlah jelas betul apa yang disebutkan dengan kelas standard itu. Apa lagi bila dihubungkan dengan factor empirik keperluan customer, yang paling menekan ialah standarisasi servis, bukan kelas standard. Sampai sekarang tidak ada standarisasi servis untuk semuanya kelompok peserta dan kelas JKN.

Maka dari itu, yang paling diperlukan customer rumah sakit, ialah standarisasi servis. Dan JKN KRIS, ringkas tidak punyai dasar filosofis dan sosiologis yang terang dan nyata. Ke-2 , tragisnya, program JKN ini malah jadi beban baru untuk customer. Dengan program JKN KRIS, peserta kelas tiga akan alami peningkatan biaya/pungutan, di luar pungutan reguler. Dan untuk peserta kelas satu, akan alami pengurangan kelas, yaitu jadi kelas standard (kelas dua). Sementara pungutan yang dibayar masih tetap yaitu sebagai kelompok kelas satu. Rugi lain, bila peserta kelas satu tidak ingin dengan servis kelas standard yang ada, karena itu customer akan ditampik rumah sakit, dan disuruh untuk pilih rumah sakit lain. Rumah sakit yang lain diartikan dapat rumah sakit swasta yang tidak bekerja bersama dengan BPJS Kesehatan, yang notabene condong tambah mahal.

Maka program JKN KRIS mempunyai potensi bikin rugi peserta JKN. Adapun untuk faksi rumah sakit, program JKN KRIS akan membuat permasalahan baru, bahkan juga membuat bom waktu. Misalkan,pertama, faksi rumah sakit harus mengambil kantong tambahan (investasi baru) untuk mengatur ulangi infrastruktur rumah sakit, baik itu ruang dan beberapa alat kesehatan. Ke-2 , akan menggerus penghasilan rumah sakit tersebut. Sebagai contoh, peristiwa ini yang dirasakan oleh RSUD Kota Tangerang, yang telah lama mengaplikasikan kelas non standard. Menurut pembicaraan managemen RSUD Kota Tangerang pada penulis (Mei 2022), bahwarevenueyang didapat dari servis non kelas hanya 38% saja. Dan bekasnya, 62%, terutamanya untuk upah tenaga medis dan pegawai yang lain, dijamin penuh oleh APBD Kota Tangerang.

Waspada Peraturan JKN KRIS

Waspada Peraturan JKN KRIS

Masalah kurangnya penghasilan RSUD Kota Tangerang itu tidak jadi permasalahan, karena hal itu menjadi loyalitas Pemerintahan Kota Tangerang, yang telah dikuatkan juga lewat ketentuan wilayah. Maknanya resiko keuangannya telah dijumpai dan diperhitungkan, plus sudah dipersiapkan peruntukan ongkos yang cukup buat menalangi kekurangan ongkos operasional RSUD itu. Berbeda narasi jika peristiwa ini terjadi kesemua rumah sakit yang mengaplikasikan program JKN non kelas, lalu siapa yang hendak memikul beda dan kekurangannya? Bahkan juga program JKN KRIS akan berekor panjang, yaitu akan membuat clustering baru rumah sakit, yaitu klaster rumah sakit bekerja bersama dengan BPJS Kesehatan, dan cluster rumah sakit yang tidak bekerja bersama dengan BPJS Kesehatan (RS swasta). Tragisnya, klaster RS berbasiskan JKN dipandang “RS kelas bawah”, dan di lain sisi klaster RS non JKN dicitrakan sebagai RS dengan servis yang lebih handal.

Menjadi program JKN KRIS malah akan melahirkan feodalisme baru dalam servis rumah sakit. Apa lagi, kabarnya program JKN KRIS sebagai “janji politik” anggota komisioner DJSN kepada pihak RS swasta dan asuransi komersil, jika masih tetap ada 40% stock tempat tidur di RS yang dapat dikerjakan oleh asuransi komersil. Bila betul begitu, program JKN KRIS ini sebagai peraturan “ganti guling” di antara DJSN dengan asuransi komersil? Berikut yang perlu dikulik secara dalam. Dalam kata lain, bila peraturan JKN KRIS diwujudkan, benar-benar bisa jadi ini sebagai usaha struktural untuk menenggelamkan program JKN. Alias menenggelamkan BPJS Kesehatan, yang sebenarnya semakin exist berperforma servis dan keuangannya . Maka claim jika program JKN KRIS untuk selamatkan segi keuangan BPJS Kesehatan, jadi tidak berkaitan. Karena, semenjak 1,5 tahun akhir, faktor keuangan BPJS Kesehatan telah alami surplus.

Bahkan juga, Dirut BPSJ Kesehatan Ali Ghufron Mukti, jamin sampai 2024 tidak ada peningkatan biaya/pungutan untuk peserta program JKN. Cukup keren kan? Dengan begitu, jadi tidak ada argumen yang cukup sah untuk Kemenkes dan DJSN untuk berlakukan peraturan program JKN KRIS itu. Karena endingnya program JKN KRIS malah mempunyai potensi bikin rugi banyak faksi: bikin rugi customer, BPJS Kesehatan, bahkan juga dalam titik tertentu akan mengerdilkan program JKN tersebut. Karena itu, Kemenkes dan DJSN seharusnya tak perlu memaksa program JKN KRIS. Oleh karena itu, wawasan peraturan JKN KRIS semestinya dicermati lebih dulu untuk kebutuhan customer sebagai peserta JKN. Janganlah sampai di masa datang memunculkan beragam penyimpangan dan masalah baru yang lebihcomplicated. Untuk customer, yang paling menekan ialah standarisasi servis, bukan kelas standard.